(jambimantap.com)
Pembaharuan hukum pidana nasional (criminal law reform) yang sudah dimulai sejak tahun 1963 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu KUHP yang “tambal sulam” (baik dengan pendekatan evolusioner, global maupun kompromi antara keduanya), melainkan memakai model rekodifikasi terbuka karena adanya paradigma baru yaitu menyusun kembali dan reformasi terhadap hukum pidana yang sistematis. Diharapkan pula dengan terbentuknya KUHP nasional yang sesuai dengan kepribadian Indonesia yang menghomati nilai-nilai agama/adat yang hidup di dalam masyarakat, bersifat modern dengan tidak menyampingkan nilai-nilai maupun standar dunia Internasional didalam konvensi Internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sebagai salah satu bangsa beradab di dunia.
Dalam perkembangannya, pemikiran mengenai pembaharuan terhadap KUHP tidak hanya dilandasi sebagai keinginan untuk menggantikan karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan warisan dari KUHP Belanda 1986, akan tetapi dilandasi oleh semangat demokratisasi hukum yang menggantikan produk pada masa penjajahan yang isinya merupakan produk kolonial dalam masa penjajahan Belanda kepada Indonesia. Sebagai catatannya bahwa pengaruh andil dari kolonial dalam hukum pidana terjadi secara sistematis melalui asas konkordansi, doktrin, text-book dan jurisprudensi pengadilan Belanda
Selanjutnya bahwa Pertimbangan ekonomi dan moral dalam pertanggungjawaban pidana korporasi juga tidak terlepas dari keragaman bentuk korporasi saat ini dengan modus jika didesentralisasi, padahal penanganannya merupakan satu kesatuan yang terintegrasi yang ternyata disebabkan antar perusahaan, sehingga tidak mungkin untukmembuktikan kesalahan individu yang bertindak dalam organisasi.
Adapun ada beberapa permasalahan mengenai pembaharuan hukum pidana sehingga menjadi urgensitas dalam dilakukannya pembaharuan yang berada pada KUHP warisan Belanda, digantikan dengan KUHP Nasional, 3 (tiga) permasalahan tersebut diantaranya, yaitu Pertama, perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act), kedua, perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan ketiga, perumusan sanksi yang berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). KUHP Nasional secara filosofis nantinya diharapkan juga bisa mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan (humanitarian values) terhadap pelaku tindak pidana (offender) maupun dari sisi korban (victim).
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur mengenai korporasi yang merupakan badan hukum (rechtsperson) sebagai subjek tindak pidana. Pengurus yang melakukan tindak pidana mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi di dalam hubungan kerja suatu perusahaan. Dalam lingkup usaha pengurus bisa bertindak untuk mewakili kepentingan dari korporasi, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Terlebih lagi, dalam RKUHP yang termasuk korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, tetapi juga meliputi firma, CV, dan persekutuan perdata yaitu badan usaha yang berdasarkan hukum perdata, bukan suatu badan hukum.
Selanjutnya pengaturan mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada RUU KUHP Nasional yang telah memakai konsep baru, yaitu terletak dalam paragraf 3 (tiga) tentang Pertanggungjawaban Korporasi, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50. Selain itu, RKUHP juga mengadopsi pidana pokok denda untuk mengancam korporasi. Secara berjenjang jika denda tidak dibayar, maka aset korporasi dapat dirampas untuk mengganti jumlah denda yang ditetapkan. Ketentuan mengenai Pidana pengganti bagi korporasi yaitu dalam hal kekayaan atau pendapatan korporasi tidak mencukupi untuk melunasi pidana denda, korporasi bisa dikenai pidana pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi. Selain pidana pengganti, RKUHP juga mencantumkan pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada korporasi terletak didalam Pasal 120 RKUHP.
Selanjutnya dalam RUU KUHP tetap mempertahankan Asas Geen Straft Zonder Schuld yaitu “Tidak dapat diberikan Pidana apabila tidak ada Kesalahan”, sebagai asas fundamental yang terletak berdasarkan Pasal 35 RUU KUHP. Demikian sebagai Pengecualian, Undang-undang dapat menentukan bahwa pada tindak pidana tertentu pelaku dapat dimintai Pertanggungjawaban pidana berdasarkan sudah terpenuhinya unsur-unsur pidana yang telah dilakukan oleh Pelaku berdasarkan Pasal 37 RUU KUHP. Dan dalam pertanggungjawaban pidananya pula pelaku hanya bisa dikenakan tindak pidana apabila didalam perbuatannya karena Dolus (Kesengajaan) maupun Culpa (kealpaan), berdasarkan perbuatan kealpaan asalkan diatur dalam Undang-undang terkait berdasarkan dasar hukum Pasal 36 RUU KUHP.
Konsep RUU KUHP Nasional mengadopsi Pertanggungjawaban dengan sistem Single Track Sistem dan Double Track Sistem tergantung kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi itu sendiri dalam Perkara a quo. RUU KUHP telah mengakomodir korporasi yang berupa badan hukum (rechts person) sebagai subjek tindak pidana yaitu memiliki dengan hak dan kewajiban sebagai badan hukum. Badan hukum dijalankan oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus yang bertindak dan atas nama korporasi tersebut, mewakilinya untuk operasional dalam lalu lintas hukum. Secara definisi badan hukum merupakan suatu organisasi yang didalamnya terdapat orang/perorangan (naturlijk person) yang memiliki suatu tujuan yang samadan memiliki suatuaset tertentu. Dengan kata lain, di dalam menjalankan kegiatan operasionalnya badan hukum dikerjakan oleh orang/perseorangan untuk kepentingan berjalannya suatu korporasi.
Apabila ditelisik kembali, dalam formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi yang berada di dalam Undang-undang Khusus belumlah sesuai, mengingat belum adanya hukum acara pidana (hukum pidana formil) yang secara eksplisit mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh karenanya, setelah RUU KUHP diundangkan, pembentuk peraturan perundang-undangan bisa segera membuat RUU KUHAP yang mengatur pelaksanaan secara eksplisit mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang berada pada RUU KUHP. Dengan menyesuaikan pada ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi pada UU Khusus dan RUU KUHP. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dari Negara Belanda Negara Belanda, yang merupakan negara yang menjadi anggota dari Uni Eropa merupakan salah satu negara yang memakai sistem hukum civil law.
Ketika KUHP Belanda (Dutch Penal Code) berlaku pada tahun 1886, pembentuk Undang-undang berpendirian bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia (naturlijk person) saja dengan paradigma bahwa badan hukum (rechts person) tidak bisa melakukan tindak pidana. Pendirian tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran klasik (classic ideas) para ilmuan Jerman seperti Von Feurbach dan Von Savigny. Sebelum 1976, dalam KUHP Belanda maupun dalam aturan-aturan pidana di luar KUHP Belanda menentukan apabila terjadi tindak pidana dalam konteks korporasi, maka yang dipidana adalah pegawai Korporasi.
Dari pengaturan ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dimasukan di dalam RUU KUHP merupakan langkah maju, untuk memberantas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di negara Indonesia. Sama dengan negara Belanda pengaturan mengenai pertanggungjawaban korporasi bukan hanya diletakkan didalam KUHP tetapi pengaturannya juga ada didalam UU Khusus seperti yang telah diatur di Negara Belanda. Tetapi ketentuan yang kurang disini adalah mengenai Penyuapan terhadap orang non pejabat public (swasta) dan Penerimaan suap oleh orang non pejabat public (swasta). Padahal dari belajar dari negara Belanda ketentuan tersebut sudah diatur di negara Belanda dan merupakan suatu tindak pidana yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketentuan ini yang harus dipertimbangkan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan mengingat ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh pihak swasta belum ada pengaturan yang mengatur mengenai tindak pidana tersebut.
Pengaturan mengenai Hukum Pidana Formil (RUU KUHAP) khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi haruslah dibuat sesuai dengan Asas Legalitas dimana klausulnya memuat Lex scripta artiny ahukum pidana tersebut harus tertulis. Lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas. Lex stricta artinya rumusan harus dimaknai secara tegas tanpa analogi, dan lex praevia yang artinya hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.
Indonesia dengan menempatkan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi didalam RUU KUHP dan UU Khusus. Kemajuan yang telah dilakukan pada negara Belanda yakni didalam Dutch Penal Code terletak dalam Pasal 328ter ayat (1) yang poin intinya berbunyi: “Penyuapan terhadap orang non pejabat publik (swasta)”. Dan Pasal 328ter ayat (2) yang poin intinya berbunyi: “Penerimaan suap oleh orang non pejabat publik (swasta)”. Dimana negara Belanda sudah mengakomodir ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang dilakukan oleh pihak swasta dan merugikan pihak swasta merupakan tindak pidana. Ketentuan ini yang menjadi kekurangan di negara Indonesia yaitu Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pada pihak swasta yang belum diatur sepenuhnya.
0 Comments