Header Ads Widget

jambimantap

KETENTUAN PELAKSANAAN PIDANA KERJA SOSIAL DALAM MEMBATASI KELEBIHAN PENGHUNI LAPAS DAN KRITERIA PERBUATAN PIDANA YANG DAPAT DIKENAKAN PIDANA KERJA SOSIAL

OLEH : AULIA AGUS MAHEZA

Pidana kerja sosial masih merupakan konsep di dalam RUU KUHP. Tetapi, pidana kerja sosial di tiap-tiap negara hampir sama pelaksanaannya, yaitu tidak diberi upah, tidak dapat diwakilkan, tidak dapat diganti denda, dan pekerjaannya mempunyai manfaat bagi masyarakat. Tujuan pidana kerja sosial sama dengan tujuan pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu untuk membina narapidana dan menjadikannya manusia yang baik dan berguna bagi dirinya, sesamanya, dan nusa bangsa. Ketentuan pelaksanaan pidana kerja sosial hanya akan dapat dilakukan apabila didukung oleh sistem nilai yang ada di masyarakat. Kebijakan legislatif dan pemerintah karenanya diperlukan. Dengan demikian, pemerintah harus lebih cermat melihat nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk kemudian dimasukkan ke dalam hukum positif pada masa yang akan datang, seperti halnya pidana kerja sosial atau bentuk pidana baru lainnya yang sesuai dengan perasaan keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat juga perlu diberi pemahaman untuk menerima kehadiran narapidana yang bekerja di lingkungan sekitarnya dan tidak menghalangi pelaksanaan pidana kerja sosial. Mekanisme dan ketentuan penjatuhan pidana kerja sosial antara lain dikemukakan sebagi berikut:

Ketentuan Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial Dalam Membatasi Kelebihan Penghuni Di Lapas.

Terpidana kerja sosial tidak perlu tinggal di lapas.
Inilah perbedaan mendasar dari pidana penjara. Seseorang yang oleh hakim diputus dengan hukuman pidana kerja sosial tetap tinggal di kediaman masing - masing. Mereka hanya diwajibkan bekerja pada jam-jam tertentu tanpa dikomersialkan. Pelaksanaannya dilakukan dengan diawasi oleh dewan pengawas.
Persyaratan yang mungkin ditetapkan dalam penerapan pidana kerja sosial adalah persyaratan yang berkaitan dengan pelaku itu sendiri, misalnya usia pelaku dan criminal record dari pelaku. Dalam RUU KUHP 2017, terkait dengan syarat tindak pidana yang bisa diganjar dengan pidana kerja sosial, terdapat di dalam Pasal 88ayat (1) yang menyebutkan, jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
Pidana kerja sosial hanya diberikan pada tindak pidana ringan yang hukuman pidananya pendek. Melihat fakta empiris pidana penjara saat ini, maka pidana kerja sosial lebih bermanfaat untuk para nara pidana. Selain itu, jika ditinjau dari filosofi tujuan pemidanaan, maka pidana kerja sosial dirasa setimpal dengan tindak pidana yang dilakukan, yaitu tindak pidana ringan dengan jangka hukuman pendek. Penerapan pidana kerja sosial secara umum sama dengan pelaksanaan di negara-negara Eropa yang sudah menerapkan jenis pidana ini. Pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan dalam jenis tindak pidana tertentu. Umumnya, negaranegara di Eropa mempersyaratkan, pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang tidak terlalu berat. Dengan kata lain, pidana kerja sosial tidak dapat dijatuhkan atau diterapkan terhadap jenis tindak pidana berat. Penerapan pidana sosial untuk tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya relatif pendek sesuai dengan tujuan pemansyarakatan yaitu untuk membina kembali seorang yang sudah tersesat, dengan harapan agar ia sanggup menjadi manusia yang baik dan berguna bagi dirinya, bagi sesamanya, dan bagi nusa dan bangsanya. Pendeknya, pidana kerja sosial sejalan dengan ide pemasyarakatan yang memiliki tujuan untuk kembali menjadikan seorang narapidana menjadi manusia yang utuh. Pada umumnya, ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan tentang pidana kerja sosial juga menyangkut pengaturan tentang jam kerja minimum dan maksimum pidana kerja sosial yang di setiap negara bervariasi. Berkaitan dengan jumlah jam pidana kerja sosial, dijelaskan dalam Pasal 88 ayat, (4), (5), (6), dan (7) RUU KUHP 2017 yang berbunyi sebagai berikut; 
(4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama: a. dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan b. seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
 (5) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam. 
(6) Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
 (7) Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah maka terpidana diperintahkan: a) mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut; b) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau c) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.
Waktu yang diberikan oleh RUU KUHP 2017 sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas relatif manusiawi. Pidana kerja sosial yang dilakukan bukanlah bersifat kerja paksa, apalagi pada ketentuan ayat (6) disebutkan bahwa pelaksanaannya bisa diangsur dengan melihat kegiatan terpidana. Ketentuan ini semakin mempertegas pembinaan narapidana secara manusiawi dengan tetap menjunjung tinggi hak dan martabatnya. Selain itu, ketentuan pidana kerja sosial yang diatur dalam RUU KUHP 2017 juga mempertimbangkan usia pelaku, yaitu adanya larangan bagi pelaku yang masih di bawah umur, yang berdasarkan hukum perburuhan dilarang untuk melakukan kerja. Dengan demikian, berkaitan dengan usia pelaku dalam penerapan pidana kerja sosial, ketentuannya telah memperhatikan hak-hak pelaku, terutama berkaitan dengan pelaku anak-anak.
Kriteria Perbuatan Pidana Yang Dapat Dikenakan Pidana Kerja Sosial.
Pidana kerja sosial sebagai suatu pidana sudah tidak asing lagi di beberapa negara karena negara-negara tertentu, khususnya seperti yang ada di benua Eropa, telah sejak dulu menerapkan pidana seperti itu. Namun, berbeda halnya dari Indonesia, pidana kerja sosial terbilang sesuatu yang masih baru dan masih asing didengar. Pidana kerja sosial di Indonesia masih berupa konsep/rancangan dalam RUU KUHP Indonesia yang tidak kunjung selesai-selesai dibahas. Memang diperlukan adanya sanksi-sanksi baru ataupun alternatif bagi para pelaku kejahatan di Indonesia saat ini, mengingat bentuk dan jenis kejahatan yang mulai beragam dan makin meningkat, seiring berkembangnya zaman. 
Kejahatan - kejahatan demikian, baik kejahatan yang terjadi secara konvensional maupun kejahatan dengan perangkat teknologi yang canggih. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana badan. Pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan dan dengan syarat-syarat tertentu. Sasaran dari objek pidana tersebut adalah dikenakan pada fisik/tenaga si terpidana/pelaku. Dalam Penjelasan Umum RUU KUHP 2017 juga ditegaskan bahwa Penyusunan KUHP Nasional dalam rangka menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran RUU KUHP 2017, reformulasi atas pengaturan hukum pidana yang dilakukan meliputi penentuan tindak pidana (kriminalisasi) yang sangat jauh berbeda dari KUHP sekarang.
Tercatat ada 743 pasal dalam RUU KUHP 2017 yang 513-nya merupakan pasal-pasal mengenai tindak pidana dan selebihnya merupakan pasal-pasal ketentuan umum. Adanya perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam RUU KUHP 2017 selalu disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Materi baru yang diatur dalam RUU KUHP adalah terkait sanksi pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana yang dijalankan oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Dalam wacana ilmu hukum pidana, istilah “pidana kerja sosial” kemudian lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah Community Service Order.
Mengenai jenis-jenis pemidanaan, dalam KUHP dikenal dua jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni: pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana tutupan, dan pidana denda, dan pidana tambahan yang terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Dari jenis-jenis pemidanaan tersebut, tidak dikenal jenis “pidana kerja sosial”. Beda halnya di beberapa negara seperti Belanda dan Inggris yang memang mengenal jenis hukuman kerja sosial.
Di Indonesia, pidana kerja sosial dikenal sejak dicantumkan dalam konsep RUU KUHP. Pada Pasal 66 ayat (1) RUU KUHP 2017, disebutkan bahwa i) pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial, dan ii) pidana tambahan seperti dimaksud Pasal 65A Konsep RUU KUHP 2017 yang terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian, pencabutan surat ijin mengemudi, dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Penjelasan lebih lanjut mengenai pidana kerja sosial dalam RUU KUHP 2017 diatur dalam Pasal 88 ayat (1) yang menyebutkan, jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pidana kerja sosial tidak dapat dijatuhkan dalam setiap tindak pidana yang terjadi. Secara prinsipil, pidana kerja sosial merupakan alternatif dari tindak pidana ringan dan dikenakan terhadap pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Konsepsi ini bertolak dari pemikiran bahwa pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang akan dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana yang tidak terlalu berat. Ini berarti pidana kerja sosial sekali-kali tidak dapat dijatuhkan manakala tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa adalah jenis tindak pidana berat.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (2) RUU KUHP 2017 dinyatakan, dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana kerja sosial perlu diperhatikan berbagai hal. Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan agar pidana kerja sosial benar-benar dapat dijalankan. adapun kriteria dalam penjatuhan sanksi dalam pidana kerja sosial adalah sebagai berikut:
 1. Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah lima tahun dan hakim menjatuhkan pidana tidak lebih dari enam bulan penjara atau pidana denda tidak lebih dari. Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud di atas, wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 
a) pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; 
b) usia layak kerja terdakwa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
c) persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; 
d) riwayat sosial terdakwa; 
e) perlindungan keselamatan kerja terdakwa; 
f) keyakinan agama dan politik terdakwa 
g) kemampuan terdakwa membayar pidana denda. 
2. Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan. 
3. Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama: 
a) dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang berusia delapan belas tahun atau lebih; dan 
b) seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah delapan belas tahun. 5.

Post a Comment

0 Comments