Header Ads Widget

jambimantap

Tindak Pidana Kesusilaan Dalam KUHP Dan RUU KUHP DAN Tindak Pidana Kesusilaan Dan Keberpihakan Terhadap Perempuan

                         sumber: Google
OPINI OLEH: HABIBI 

Secara umum tindak pidana kesusilaan diartikan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan etika. Pernyataa t. n ini menunjukkan bahwa menentukan batasan atau pengertian mengenai kesusilaan tidaklah sederhana. Batasan-batasan kesusilaan etika sangat tergantung dengan nilai - nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini juga diakui oleh R. Soesilo yang menyatakan bahwa “sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang-kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu.
Tindak pidana kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) diatur dalam Buku Kedua Bab XIV dan Buku Ketiga Bab VI. KUHP yang berlaku sekarang ini telah mulai diberlakukan sejak tahun 1918. Hampir keseluruhan pasal-pasal dalam KUHP termasuk pula delik kesusilaan mewarisi kaidah-kaidah yang mengatur hukum pidana semenjak masa kolonial hingga saat ini. 
Ruang lingkup tindak pidana kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan atau tulisan yang melanggar kesusilaan (Pasal 281-283, 532-535); hubungan seksual dan perbuatan cabul (Pasal 284-296), perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297); perbuatan yang berhubungan dengan pengguguran kehamilan (Pasal 299); yang berhubungan dengan minuman keras/ memabukkan (Pasal 300, 536-539); pemanfaatan anak untuk pengemisan, pekerjaan berbahaya/merusak kesehatan (Pasal 301); penganiayaan ringan dan perlakukan tidak susila terhadap hewan (Pasal 302, 541 dan 544); perjudian (Pasal 303 dan 303 bis); meramal nasib/mimpi dan yang berhubungan dengan jimat atau benda berkekuatan gaib (Pasal 545-547).
RUU KUHP yang sedang disiapkan oleh Tim Penyusun dari pemerintah kenyataannya masih belum mengakomodasi beberapa persoalan yang muncul dalam masyarakat khususnya berkaitan dengan kejahatan seksual Seperti halnya KUHP dalam RUU KUHP juga belum mengakomodasi konsep perkosaan atau persetubuhan terhadap perempuan yang berada dalam status perkawinan istri. Perkosaan atau persetubuhan yang dimaksud dalam RUU KUHP hanya dalam kerangka “persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan”. Hal tersebut tentunya mengesampingkan adanya adanya perkosaan di dalam perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya (marital rape). Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa sebagai istri, perempuan harus bersedia melakukan hubungan seksual dalam kondisi apa pun.
Tidak diaturnya marital rape dalam RUU KUHP akan berpotensi menimbulkan permasalahan karena kejahatan perkosaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh suami terhadap istri saat ini kerap terjadi dan telah menimbulkan banyak korban. RUU KUHP juga belum mengakomodasi adanya perkosaan yang dilakukan di antara laki - laki atau di antara perempuan meskipun diketahui hal ini juga marak terjadi khususnya yang dilakukan oleh laki - laki dewasa terhadap anak-anak di bawah umur (sodomi). Belum terumuskannya perbuatan tersebut sebagai suatu tindak pidana perkosaan semakin menunjukkan kuatnya nilai-nilai di masyarakat yang menganggap bahwa perkosaan hanya terjadi dalam hubungan heteroseksual (antara laki-laki dengan perempuan)
Pasal 491 ayat 2 RUU KUHP telah memperluas rumusan perkosaan, yang tidak lagi hanya dalam konteks persetubuhan yakni hanya penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan tetapi juga mencakup “penetrasi alat kelamin laki-laki ke dalam anus atau mulut perempuan”, atau memasukkan benda yang bukan bagian anggota tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan”. Namun rumusan ini belum memasukkan bentuk-bentuk pemaksaan lainnya selain dari ketentuan di atas, seperti faktanya pelaku juga kerap memasukkan bagian-bagian tertentu dari anggota tubuhnya, seperti jari atau kaki ke dalam alat kelamin perempuan atau juga dalam bentuk pemaksaan oral terhadap perempuan.
 Hal lain yang juga belum diakomodasi dalam RUU KUHP adalah tindakan - tindakan seperti serangan seksual terhadap perempuan yang sering disebut sebagai pelecehan seksual. Pelecehan seksual mencakup cumbuan rayuan perilaku seksual tidak hanya secara fisik tetapi juga verbal atau melalui penggunaan gambar yang tidak diinginkan oleh korban atau merendahkan, menjijikan bagi penerima termasuk pemberian julukan penghinaan atau komentar yang tidak senonoh, atau gerak isyarat dan poster gambar kartun yang bersifat menyerang secara seksual. Dalam praktiknya perbuatan seperti itu sering kali muncul khususnya dalam lingkungan kerja, namun jarang atau tidak pernah mampu diproses secara hukum.
Perempuan merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kejahatan seksual. Hal ini disebabkan karena budaya patriarki di mana perempuan ditempatkan sebagai subordinat dan laki - laki sebagai ordinat, laki - laki superior dan perempuan inferior. Sehingga kepentingan laki  -laki lebih diutamakan dan kepentingan perempuan dikonstruksikan sedemikian rupa untuk kepentingan laki-laki. Dalam masyarakat perempuan dinilai merupakan “milik” laki-laki atau masyarakat (komunitas). Sehingga setiap tingkah lakunya dikontrol yang menyebabkan perempuan kehilangan kendali atas tubuh dan bahkan jiwanya. Dalam posisi demikian perempuan berada dalam posisi yang rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh individu dan komunitas serta sulit terbebas dari siklus kekerasan yang terjadi tersebut. Konstruksi tersebut tersosialisasi atau terdogmatisasi dengan pendidikan yang baik dalam keluarga, masyarakat maupun lembaga, regulasi, tradisi, norma, mitos, bahkan slogan atau simbol atau joke yang mendiskreditkan perempuan.
Sedangkan nilai budaya di Indonesia dipergaruhi oleh faktor nilai budaya patriarki - sebagai konsekuensi dari pandangan seksualitas yang dominan- memposisikan perempuan lebih sebagai objek semata (objektifikasi perempuan) yakni sosok perempuan tidak dipandang sebagai subjek yang mempunyai kontrol penuh atas tubuhnya. Sehingga perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual, tidak bias menjadi subjek yang menentukan pelanggaran atas integritas tubuhnya. Bahkan direduksi sampai hanya sebatas bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Masih ada aparat penegak hukum yang belum responsif dan peka terhadap trauma yang dialami oleh perempuan korban sehingga korban sering kali merasa terpojok dan mengalami re-victimization. Terkadang aparat juga menggunakan pasal-pasal yang tidak relevan dengan kasus sehingga tidak memberikan keadilan dan mereduksi nilai kekerasan yang dialami oleh perempuan. Misalnya dari kasus perkosaan menjadi kasus pencabulan. Bahkan dalam beberapa kasus terdapat beberapa aparat yang memeras korban. Penegakan hukum yang lemah berimplikasi pada ketidakadilan yang diterima oleh korban. Instrumen yang belum sepenuhnya dilaksanakan, sehingga korban tidak memperoleh perlindungan dengan adanya hukum yang berlaku.
Kekerasan terhadap perempuan berbeda dengan bentuk kekerasan lainnya. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ditujukan kepada perempuan karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang berakibatpada perempuan secara tidak proporsional. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk penyerangan terhadap integritas tubuh perempuan serta harkat dan martabatnya sebagai manusia. Trauma atas kekerasan yang berbasis jender yang dialami oleh seorang perempuan akan dibawa sampai akhir hayatnya. Hal ini terbukti dari trauma yang dialami oleh perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kekerasan terhadap perempuan sering kali tidak bisa di selesaikan secara baik, seperti mendapatkan perlindungan hukum. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan akhirnya tidak bisa dilanjutkan, karena respon penegak hukum yang masih belum memberi arti penting kekerasan yang menimpa perempuan. 
Akibatnya perempuan yang menjadi korban kekerasan kebanyakan urung untuk melanjutkan niatnya melaporkan kekerasan yang diterima, disamping takut tidak ditanggapi oleh aparat, mereka takut malah dicemooh ketika melaporkan kasusnya. Tidak adanya perlakuan khusus pada saat proses pemeriksaan perkara sering kali membuat korban menjadi korban untuk kesekian kali. Minimnya pemahaman penegak hukum tentang perspektif jender membuat korban menjadi tidak nyaman dan trauma dengan sistem hukum kita. Atas kondisi demikian, Ridwan Mansyur merekomendasikan beberapa langkah dan tindakan yang perlu dilaksanakan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender. Pertama, subtansi hukum dan kebijakan dengan mengintegrasikan prinsip persamaanantara laki-laki dan perempuan dalam sistem hukum, menghapuskan peraturan yang diskriminatif dan menetapkan peraturan yang melarang diskriminasi perempuan, serta menerapkan norma dan standard yang ditetapkan CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Kedua, struktur dan proses institusional melalui pengembangan kapasitas lembaga yang melaksanakan atau menegakkan peraturan yang non-diskriminatif, dan menetapkan mekanisme kelembagaan untuk memantau perkembangan pemenuhan hak asasi perempuan. Langkah ketiga, faktor budaya dengan meningkatkan kesadaran dan komitmen negara (eksekutif, yudikatif, legislatif) dan seluruh masyarakat akan persamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin oleh CEDAW. 
Kekerasan terhadap perempuan sejatinya merupakan suatu pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan. Namun sayangnya, dengan adanya budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat, pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan ini dinafikkan dengan memasukkan ketentuan tentang kejahatan seksual terhadap perempuan dalam Bab Kesusilaan dalam KUHP. Hal ini berarti bahwa kejahatan seksual terhadap perempuan dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma-norma dan nilainilai yang berlaku di masyarakat. Sehingga norma dan nilai di masyarakatlah yang menilai apakah perempuan menjadi korban atau tidak. Maka pada akhirnya tidak semua kejahatan terhadap perempuan dapat dikriminalkan karena dianggap tidak melanggar norma ataunilai di masyarakat. Adanya revisi KUHP kenyataannya tidak mengubah paradigma lama dan tetap memasukkan kejahatan seksual terhadap perempuan dalam Bab Kesusilaan. Beberapa bagian dalam Bab Kesusilaan dalam RUU KUHP terdapat tindak pidana yang berkaitan dengan hak perempuan khususnya hak atas reproduksi dan seksual, yaitu tindak pidana kesusilaan di muka umum, pornografi dan pornoaksi, permufakatan jahat, zina dan perbuatan cabul, perkosaan dan perbuatan cabul, dan pengobatan yang menyebabkan gugurnya kandungan. Bagian-bagian tersebut mengatur tentang delik perkosaan, perbuatan cabul, inses, serta perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual yang pada dasarnya termasuk kejahatan seksual (seksual violence). 
Artinya bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan tindak kejahatan terhadap integritas dan kedirian tubuh seseorang, yakni berkaitan dengan persoalan seksual. Sampai saat ini perempuan merupakan korban terbesar dari tindak pidana perkosaan, perbuatan cabul, pelacuran, serta perdagangan orang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa data yang dilansir oleh pemerintah, komisi perlindungan anak dan lembaga swadaya masyarakat. Penilaian pengaturan tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP kurang memberikan perlindungan bagi perempuan juga dinyatakan praktisihukum Nursyahbani Katjasungkana dan sosiolog Thamrin A. Tomagola. Keduanya menilai bahwa pasal-pasal mengenai perempuan yang hampir semuanya dimasukkan dalam pasal kesusilaan-merugikan perempuan karena melanggengkan ketimpangan relasi jender di masyarakat.
Namun demikian penilaian bahwa RUU KUHP tidak berpihak kepada perempuan ditentang oleh guru besar hukum Universitas Trisakti, Profesor Andi Hamzah. Menurutnya, RUU KUHP ini telah lebih maju dalam upaya melindungi perempuan. Pasal 423 RUU KUHP mengenai pemerkosaan, misalnya, menyebutkan batas minimal pidana pelaku pemerkosaan adalah tiga tahun dan maksimal 12 tahun. Batas minimal ini merupakan kemajuan dibanding dengan Pasal 285 KUHP yang memberi ancaman hukuman minimal satu hari. Pasal mengenai pemerkosaan itu juga di anggap lebih maju karena memperluas cakupan tindak pidana pemerkosaan tidak hanya berdasarkan kekerasan atau ancaman kekerasan. Bila laki-laki melakukan persetubuhan di luar perkawinan bertentangan dengan kehendak perempuan atau tanpa persetujuan perempuan tersebut sudah dianggap sebagai pemerkosaan. 
Termasuk juga tindak pemerkosaan bila persetubuhan dilakukan pada perempuan berusia di bawah 14 tahun walaupun ada persetujuan dari pihak perempuan. Selain itu, dianggap sebagai pemerkosaan bila dilakukan secara seks oral dan anal, atau memasukkan benda ke dalam vagina atau anus perempuan. Selain itu, RUU KUHP ini, menurut Audi Hamzah, juga melindungi perempuan dari “janji gombal” laki-laki, yaitu melalui Pasal 421 yang mempidanakan laki - laki yang berhubungan badan dengan perempuan tidak bersuami dengan janji di kawini tetapi kemudian mengingkari janji tersebut, dipidana dengan penjara paling lama empat tahun atau denda. Begitu juga bila laki-laki tidak beristri bersetubuh dengan perempuan tidak bersuami yang mengakibatkan kehamilan dan tidak bersedia mengawini, dipidana dengan penjara paling lama lima tahun atau denda.




Post a Comment

0 Comments