Oleh: Kiai Mukhrozi (Pengasuh Padang Jagad Riau)
Kemarin, 13 Oktober, publik dibuat berang oleh tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang menyinggung perasaan umat Islam, khususnya kalangan santri dan masyarakat pesantren. Dalam program tersebut, stasiun televisi itu menampilkan adegan yang secara terang-terangan mengejek sosok kiai dan menjadikan tradisi pesantren sebagai bahan lelucon.
Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya “candaan”. Tapi bagi jutaan santri dan alumni pesantren, apa yang dilakukan Trans7 adalah bentuk penghinaan terhadap simbol keagamaan yang sangat dihormati. Di sinilah masalah besar kita mulai tampak, yakni krisis literasi dan empati media dalam memahami makna kiai dan pesantren bagi masyarakat Indonesia.
Kiai adalah sosok yang dihormati bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena keteladanannya. Mereka mendidik generasi muda, membina moral masyarakat, dan menjaga tradisi keislaman yang damai dan berakar di bumi Nusantara. Di tangan para kiai-lah lahir tokoh-tokoh besar bangsa, mulai dari pejuang kemerdekaan sampai pemimpin agama yang menyejukkan.
Pesantren pun bukan sekadar tempat mengaji. Pesantren adalah pusat pendidikan karakter dan kebudayaan Islam Indonesia, tempat ilmu dan akhlak tumbuh berdampingan. Santri dididik bukan hanya agar pintar, tapi juga agar mengerti adab.
Ketika Trans7 menampilkan kiai dengan cara yang merendahkan, itu bukan hanya soal selera humor yang buruk. Itu artinya media gagal memahami makna sosial dan spiritual dari sosok yang mereka jadikan bahan tertawaan.
Humor bisa jadi sarana kritik yang sehat, tapi bisa juga berubah menjadi bentuk kekerasan simbolik, terutama ketika menyasar kelompok yang selama ini dihormati dan punya nilai luhur. Dalam tayangan Trans7 itu, sosok kiai jelas dicitrakan seperti 'penindas' dan kolot.
Ini bukan sekadar guyonan yang salah sasaran. Ini adalah bentuk framing jahat, ketika media membentuk persepsi publik bahwa kiai adalah sosok otoriter, kuno, dan tidak sejalan dengan zaman. Efeknya pelan tapi berbahaya, masyarakat jadi menganggap pesantren sebagai institusi yang tertinggal, bukan tempat ilmu dan kebijaksanaan.
Masalah ini bukan hal baru. Dalam banyak acara televisi, kita sering melihat agama dan tradisi dijadikan bahan hiburan seolah semua bisa ditertawakan demi rating. Dari sinilah terlihat betapa dangkalnya literasi media kita terhadap nilai-nilai budaya dan keagamaan.
Televisi hari ini, termasuk Trans7, hidup dalam logika industri, yang penting viral, ramai, dan mendatangkan iklan. Di balik layar, mereka sibuk mencari “momen lucu” tanpa peduli dampaknya terhadap publik.
Masalahnya, cara berpikir semacam ini membuat media kehilangan sensitivitas sosial. Mereka lupa bahwa masyarakat Indonesia bukan hanya penonton yang haus hiburan, tapi juga punya nilai-nilai yang dijaga. Dalam konteks masyarakat religius seperti kita, menjadikan kiai bahan olok-olok sama saja dengan menertawakan keyakinan orang banyak.
Inilah tanda kemiskinan literasi media kita. Banyak kreator konten dan pekerja televisi tidak punya pemahaman dasar tentang dunia pesantren dan tradisi keagamaan lokal. Akibatnya, mereka mudah tergelincir pada candaan yang sebenarnya menghina.
Kita juga harus jujur bahwa selama ini, pesantren sering direpresentasikan secara keliru di media. Santri digambarkan sebagai kolot dan polos, kiai sebagai orang tua yang superior, bahkan kadang eksentrik. Padahal, pesantren sekarang justru semakin modern dan terbuka.
Banyak pesantren sudah punya program kewirausahaan, teknologi, dan pendidikan tinggi. Santri banyak yang aktif di dunia digital, menulis, berdakwah, bahkan jadi pemimpin muda. Tapi media arus utama jarang menampilkan sisi ini. Mereka lebih senang mengulang stereotip lama yang “menghibur” tapi menyesatkan.
Jika citra seperti ini terus disebarkan, lama-lama masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap kiai dan lembaga pesantren. Ini bahaya besar, karena berarti akar moral bangsa sedang dilemahkan.
Kesalahan Trans7 bukan cuma soal etika jurnalistik, tapi soal tanggung jawab moral. Sebagai media nasional, mereka punya kewajiban menghormati keragaman masyarakat dan menjaga ruang publik agar tetap sehat dan bijak. Permintaan maaf di media sosial tentu saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah perombakan cara pandang, dari sekadar mencari sensasi, menjadi media yang menghormati nilai. Bahkan gerakan boikot pun tidak akan efektif, lebih baik langsung ke jalur hukum. Biarkan meja hijau memutuskan.
(Pekanbaru, 14 Oktober 2025)
0 Comments