Jambimantap.com. Birokrasi pemerintahan selalu menjadi arena tarik-menarik antara politik, organisasi, dan kecerdasan (kompetensi). Ketiga faktor ini pada dasarnya tak terpisahkan, tetapi dalam praktiknya dapat berubah menjadi beban yang menghambat jalannya pemerintahan jika tidak dikelola dengan baik. Kunci utamanya ada pada pemimpin: bagaimana ia berani membuat keputusan yang menyeimbangkan realitas politik dan organisasi tanpa mengorbankan kecerdasan sebagai fondasi birokrasi modern.
Pertama, dari sisi politik, seorang pemimpin sering dihadapkan pada dilema tidak menempatkan orang berdasarkan loyalitas atau kompetensi. Balas jasa politik memang sulit dihindarkan karena sering kali menjadi syarat mendapatkan mandat kekuasaan. Namun, bila penempatan jabatan hanya didasari utang budi politik, maka meritokrasi melemah, inovasi terhambat, dan pelayanan publik berisiko menurun. Politik seharusnya hanya berperan pada tahap awal untuk membangun aliansi dan legitimasi, sementara dalam pelaksanaan birokrasi sehari-hari, yang harus dominan adalah kompetensi.
Kedua, organisasi birokrasi kerap sarat dengan “titipan” yang ditempatkan dalam struktur hierarki. Fenomena ini menciptakan ketidak adilan, demotivasi pegawai yang kompeten, dan birokrasi yang kaku. Meskipun sulit dihindari, pemimpin berani bisa meminimalkan dampaknya dengan memastikan setiap titipan tetap memenuhi standar minimum kinerja. Jika ada yang benar-benar tidak kompeten, langkah tegas harus diambil, baik dengan memindahkan ke posisi non-strategis maupun menolak penempatan tersebut. Dengan cara ini, organisasi tetap stabil tetapi tidak mengorbankan kualitas.
Ketiga, kecerdasan atau kompetensi adalah fondasi utama birokrasi. Tanpa kompetensi, kebijakan sehebat apa pun akan gagal diimplementasikan. Kecerdasan mencakup kapasitas profesional, manajerial, serta kemampuan memimpin dan beradaptasi. Dalam birokrasi modern, kecerdasan harus menjadi basis utama promosi jabatan, karena hanya dengan aparatur yang kompeten, pelayanan publik bisa efisien, transparan, dan berorientasi hasil.
Pertanyaan pentingnya adalah mana yang harus diutamakan? Jawabannya, kecerdasan harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Politik dan organisasi memang realitas yang tidak dapat dihapus, tetapi peran pemimpin yang berani adalah memastikan kompetensi tetap menjadi filter utama dalam pengambilan keputusan. Keberanian ini berarti menanggung risiko politik demi kepentingan publik yang lebih luas.
Sebagai contoh dalam beberapa kasus reformasi birokrasi di tingkat daerah maupun nasional, ada pemimpin yang berhasil menyeimbangkan ketiga faktor tersebut. Dengan mandat politik yang kuat, ia membatasi penempatan politis hanya pada posisi non-teknis, sementara jabatan strategis diisi melalui seleksi terbuka berbasis meritokrasi (penempatan berdasarkan prestasi dan kemampuan). Pejabat “titipan” yang tidak kompeten dipindahkan ke posisi dengan dampak minimal, sementara sistem evaluasi kinerja berbasis data diperkuat. ASN muda yang berprestasi diberi ruang melalui talent pool, sehingga meritokrasi mendapat tempat.
Hasilnya, pelayanan publik menjadi lebih baik dan transparan, moral pegawai kompeten meningkat, dan dominasi politik berkurang karena sistem meritokrasi sudah terbangun. Inilah bukti bahwa keberanian pemimpin bukan sekadar menolak tekanan politik, melainkan menggunakan kekuatan politik untuk memperkuat kompetensi birokrasi. Hal ini tidak akan terwujud tanpa keberanian pemimpin untuk menyeimbangkan realitas politik, menjaga stabilitas organisasi, dan tetap berpihak pada kepentingan publik. Keberanian mengambil Keputusan adalah jalan menuju pemerintahan yang kredibel dan berorientasi hasil.
1. Apakah system pemerintahan Ini juga terjadi di daerah-daerah saudara?
2. Bagaimana Langkah-langkah strategis dalam mengatasi problem ini?
3. Mohon kritikan dan saran yang sifatnya membangun narasi opini ini.
0 Comments